Saluran Irigasi Terdampak Tambang Pasir di Kali Putih, Petani 21 Desa Menghadapi Krisis Air


 Kediri, deraphukum.org  – Aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan oleh CV. BSE di kawasan Kali Putih telah menyebabkan dampak serius bagi sistem irigasi yang mengairi lahan pertanian di sekitar wilayah tersebut. Kerusakan saluran irigasi akibat penambangan mengakibatkan petani di 21 desa mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasokan air untuk mengairi sawah dan lahan pertanian mereka. Kondisi ini semakin memprihatinkan mengingat sektor pertanian sangat bergantung pada sistem irigasi yang berfungsi dengan baik untuk menunjang produktivitas hasil panen.

Sejumlah petani mengungkapkan keresahan mereka terhadap dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas tambang pasir tersebut. Salah satu petani dari Desa  menyatakan bahwa lahan sawahnya mulai mengalami kekeringan karena air irigasi yang biasa mengalir ke lahan pertanian kini terputus.

“Kami sangat bergantung pada irigasi dari Kali Putih, tetapi sejak tambang pasir beroperasi, saluran air yang mengairi sawah kami rusak dan tidak bisa mengalirkan air dengan normal. Ini sangat merugikan kami sebagai petani,” ujar [Nama Petani] dengan nada penuh kekhawatiran.

Menurut Pasal 70 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap usaha atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan wajib memiliki izin lingkungan dan bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkannya. Selain itu, dalam Pasal 36 ayat (1) UU yang sama, disebutkan bahwa setiap usaha atau kegiatan yang tidak memiliki izin lingkungan dilarang beroperasi karena dapat berakibat pada kerusakan lingkungan yang luas.

Dalam konteks ini, CV. BSE seharusnya bertanggung jawab atas dampak yang terjadi akibat aktivitas penambangan pasirnya. Jika terbukti bahwa kegiatan tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan dan menghambat sistem irigasi yang menjadi sumber utama air bagi petani, maka perusahaan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009. Pasal 76 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pelaku usaha yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.

Menanggapi kondisi ini, berbagai pihak mulai dari petani, pemerhati lingkungan, hingga organisasi masyarakat meminta agar pemerintah daerah segera turun tangan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Kepala Desa menyatakan bahwa pihaknya telah berulang kali mengajukan keluhan kepada pihak terkait, namun hingga kini belum ada tindakan konkret yang dilakukan.

“Kami sudah melaporkan masalah ini ke dinas terkait, tetapi sampai saat ini belum ada tindakan yang jelas. Kami berharap pemerintah segera bertindak agar akses air irigasi bisa kembali normal dan petani tidak semakin dirugikan,” ungkap  Kepala Desa

Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR)  menyatakan akan segera melakukan investigasi untuk memastikan sejauh mana dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir tersebut. Jika ditemukan pelanggaran terhadap aturan lingkungan, pemerintah akan memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang bertanggung jawab.

Para petani berharap agar pemerintah daerah segera melakukan upaya pemulihan saluran irigasi yang terdampak serta menindak tegas perusahaan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Mereka juga meminta agar dilakukan pengawasan lebih ketat terhadap aktivitas tambang pasir di daerah tersebut agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan.

Dengan kondisi yang semakin mengkhawatirkan, langkah cepat dari pihak berwenang sangat diperlukan guna memastikan kelangsungan sektor pertanian di 21 desa yang terdampak. Keberlanjutan pertanian harus menjadi prioritas utama, mengingat sektor ini merupakan salah satu pilar utama dalam ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.(Red.VN)

Posting Komentar

0 Komentar